Jika Anda menanyakan permasalahan tentang mobil, tentunya seorang mekanik dapat menjelaskannya dengan baik. Namun, jika pertanyaannya seputar titik penentu yang memengaruhi keputusan audiens Anda, maka behavioural science-lah yang memiliki jawabannya.
Behavioural science mempelajari perilaku dan interaksi antar manusia, sudah menjadi kunci utama Ogilvy membantu banyak brand keluar dari masalah konsumen yang mereka hadapi.
Apa dan bagaimana Ogilvy melakukannya, berikut kami rangkumkan beberapa pengalaman mereka menggunakan behavioural science di tahun 2023 ini.
1. London dengan Masalah Kekerasan pada Wanita
Sepanjang tahun 2021, sebanyak 97% wanita mengalami kekerasan seksual di Inggris. Walikota London yang saat itu sedang bersiap untuk pemilihan periode ke-2 mengonsultasikan masalah ini, agar Ogilvy dapat membantunya membuat kampanye mengubah perilaku buruk tersebut di ibu kota.
Ogilvy pun melihat masalah ini berawal dari kekerasan verbal yang dimulai oleh para pelaku pria. Namun yang menjadi sorotan adalah, para pria lainnya di sekitar pelaku yang hanya diam menyaksikan kekerasan tersebut.
Ogilvy kemudian mengembangkan strategi “Have A Word” yang mendorong para saksi, untuk berani bertindak ketika kekerasan timbul di sekitar mereka. Mereka memasang banner dengan pesan tersebut di berbagai tempat seperti toilet, pub, terminal, restoran, bioskop, hingga tempat olahraga.
Strategi “Have A Word” berhasil menjangkau 307 juta orang dan telah dilihat sebanyak 3,1 miliar dengan bantuan beberapa universitas, LSM, McDonald, hingga FIFA. Kampanye ini bahkan masuk dalam kurikulum PBB dan menyebar ke Peracis, Italia, Swedia, dan juga Australia.
Di London sendiri, 85% dari pria yang telah melihat kampanye ini sekarang mengatakan akan mengkritik perilaku kekerasan apapun jika mereka melihatnya.
2. “Tak Ada Lagi Makanan Sisa Saat Ramadan” ala WRAP
Momen buka puasa bersama saat Ramadan, membuat makanan sering disajikan berlebihan. Namun, memakan makanan sisa, walaupun masih layak, kadang terlihat tidak etis karena nilai ekonomisnya yang turun.
Sebuah LSM, WRAP, pun berkonsultasi dengan Ogilvy dan melihat perlu dua hal untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pertama yaitu mengubah gagasan terhadap hidangan buka puasa yang harus melimpah, serta cara pandang terhadap makanan sisa agar terlihat tetap menarik, segar, dan layak.
Kampanye “Ramadan Rihla”, sebuah kalender petualangan untuk berbuat baik selama bulan puasa pun dibuat. Petualangan tersebut dibuat tetap santai dan menyenangkan bagi anak-anak, yang secara halus bertujuan untuk mengubah perilaku pemborosan makanan. Anak-anak dipilih sebagai sasaran strategi karena efektif membawa pengaruh dalam keluarga.
Hasilnya, sebanyak 67% dari 106 keluarga yang mengikuti “Ramadan Rihla” melaporkan bahwa ada lebih sedikit makanan yang terbuang. Tidak hanya itu, 60% diantaranya juga setuju bahwa strategi tersebut telah berhasil mengubah cara mereka melihat makanan sisa.
3. Usaha Adobe Menarik Minat Pelanggan Lama
Adobe mengalami masalah churn rate yang tinggi dari beberapa pelanggan lama. Dengan bantuan Ogilvy, Adobe mulai membuka arsip customer service untuk mengetahui alasan, mengapa para pelanggan berhenti menggunakan layanan dan produk mereka.
Sumber masalah muncul ketika para pelanggan sudah memberi tahu Adobe semua yang mereka tidak sukai, namun malah mendapat respon “mengapa mereka ingin menghentikan langganan”. Respon ini yang membuat para pelanggan lama pergi dari Adobe karena merasa tidak didengar.
Ogily pun menyusun strategi untuk mengubah layanan customer service, agar menanyakan kepada pelanggan “apa yang membuat mereka pada awalnya menyukai Adobe”. Hal ini bertujuan untuk membuat pelanggan mengingat kembali berbagai layanan menarik yang Adobe berikan untuk mereka.
Dengan mengubah satu baris kalimat dalam layanan customer service tersebut, Ogilvy dan Adobe berhasil menaikkan 8,84% pelanggan lama untuk tetap berlangganan. Solusi ini juga berhasil menghemat jutaan dolar bagi Adobe.
4. Solusi Belanja Murah di Tengah Krisis dari Sainsbury’s
Supermarket Sainsbury’s menghadirkan aplikasi SmartShop, yang memungkinkan pelanggan memindai barang dan melakukan pembayaran langsung secara mandiri, untuk menghemat pengeluaran di tengah krisis Inggris. Namun, sistem pembayaran langsung tersebut membuat pelanggan merasa seperti “mencuri” ketika keluar dari toko.
Hal ini jadi salah satu alasan pelanggan enggan menggunakan SmartShop. Dari masalah tersebut, Ogilvy melihat pentingnya hubungan antara aplikasi, metode pengiklanan, lingkungan supermarket, serta bantuan para staf dalam toko untuk membuat solusi yang tepat.
Salah satu solusi yang dilakukan Ogilvy adalah membuat iklan dengan menunjukkan penggunaan aplikasi sebagai hal yang ‘cerdas’. Selain iklan, staf juga diberdayakan untuk membantu pelanggan agar semakin merasa nyaman saat menggunakan SmartShop.
Strategi ini berhasil membuat aplikasi SmartShop diunduh lebih dari 275.000 kali. Di mana angka tersebut merupakan 13% lebih tinggi dari unduhan yang ditargetkan.
5. Penyelesaian Masalah Prosedur Untuk Aplikasi Tinka
Untuk membantu pelanggan menghindari utang yang tidak perlu, Tinka, perusahaan perbankan asal Belanda, menambahkan proses pemeriksaan riwayat kredit ke dalam prosedur sebelum memberikan pinjaman. Namun, pelanggan merasa proses tersebut membuat pengajuan kredit menjadi rumit, lebih lama, dan mengancam data pribadi mereka.
Dengan bantuan Ogilvy, Tinka juga menemukan banyak calon konsumen yang tidak melanjutkan pinjaman, karena alur pengajuan memuat kalimat yang terlalu banyak dan kompleks. Dari sini, Ogilvy merancang sistem pemeriksaan kredit yang terpersonalisasi untuk setiap pelanggan berbeda.
Ogilvy juga memberikan pertanyaan sederhana tentang identitas diri di awal, sebelum masuk ke pembahasan inti seputar pemeriksaan riwayat kredit pelanggan. Terakhir, Ogilvy mengoptimasi proses pemeriksaan riwayat kredit tersebut dengan lebih dari 20 prinsip behavioural science, untuk melihat alur mana yang paling sesuai kebutuhan pelanggan.
Sedangkan, hasil akhir dari strategi tersebut masih dalam pemantauan Tinka dan Ogilvy hingga akhir 2023 ini.
6. Oglivy Consulting Dalam Studi Konservasi Lingkungan
Akhir-akhir ini, banyak brand yang mulai menerapkan nilai pemberdayaan lingkungan berkelanjutan dalam produk mereka. Menurut brand tersebut, hal ini dilakukan sebagai adaptasi perubahan perilaku target konsumen mereka.
Ogilvy pun berinisiatif melakukan studi mandiri, untuk melihat seberapa efektif penerapan nilai sosial dan lingkungan pada brand tersebut dalam meningkatkan pertumbuhan penjualan mereka. Ogilvy pun melakukan penelitian ke 4.200 koresponden, untuk mengetahui profil konsumen di negara-negara Asia Tenggara.
Hasilnya, sebanyak 80-90% koresponden menyatakan tidak terlalu memperdulikan masalah lingkungan. Sedangkan, hanya 10-15% diantaranya yang aktif menyuarakan isu perlindungan lingkungan dan sosial.
Hasil ini menunjukkan bahwa brand di Asia Tenggara masih perlu merancang strategi yang tepat, bila ingin menargetkan konsumen pecinta lingkungan. Brand juga perlu memahami psikologi dari konsumen yang tergolong minoritas tersebut, jika benar-benar ingin menciptakan dampak nyata terhadap perlindungan lingkungan.
Jadikan brand Anda selalu bertumbuh dan relevan dengan kebutuhan konsumen. Segera kunjungi blog Content Collision untuk insight strategi PR apa saja yang dapat brand Anda mulai terapkan.